Blog ini berisi tulisan-tulisan ringan Sultan Abdul Khair. Jika anda berkenan mengutip sebagian atau keseluruhan dari salah satu atau beberapa tulisan di blog ini, mohon untuk mencantumkan sumbernya. Ikuti Blog ini bila diperlukan. Terima Kasih atas kunjungan anda...!

Selasa, 22 Januari 2013

APA ITU NAGANURI???

Oleh Sultan Abdul Khair

Naganuri adalah nama paguyuban Mahasiswa Sape-Bima yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama Naganuri begitu kental dan melekat dengan mahasiswa Sape yang menuntut ilmu di kota gudeg ini. Naganuri sebenarnya tidak diperuntukan untuk nama sebuah perkumpulan / paguyuban melainkan berawal dari nama sebuah klub Futsal Mahasiswa Sape yang ada di Yogyakarta. Namun seiring waktu, muncul ide dari bebarapa mahasiswa Sape yang merasa peduli terhadap silaturrahim sesama Mahasiswa Sape yang kian hari makin renggang. Pembentukan ini di pelopori oleh Abdul Haris Heryani CS. Akhirnya, tepat tanggal 7 September 2008 resmi didirikan Paguyuban dengan mengadopsi nama Naganuri, atau lebih tepatnya "Naganuri Sape Yogyakarta" dengan Ncuhi pertama (Ketua) saat itu bernama Hendra Purnamasari, Ncuhi ke-2 Nanang Kurniawan, dan ncuhi ke-3 (sampai sekarang) adalah penulis sendiri, Abdul Khair.

Anda mungkin bertanya kenapa istilah ketua diganti dengan kata "Ncuhi". Yah, Naganuri memang berusaha menciptakan nuansa kedaerahan dan budaya yang kental didalamnya, dimana Ncuhi itu sendiri berarti Kepala / pemimpin (dalam bahasa Bima). Begitu juga istilah untuk beberapa posisi yang lain dalam paguyuban ini diberi nama dalam istilah bahasa Bima, seperti Galara (Sekretaris), Ina Nenggu (Bendahara), Mato'a (Bidang Kerohanian), Mancuri (Bidang Kaderisasi), Ma rewo (Bidang Humas), Ma Mpa'a (Bidang Olah raga), dan Ma Ruku (Bidang Seni).

Bagi Mahasiswa Bima yang ada di Yogyakarta nama Naganuri sudah pasti dihubungkan dengan Mahasiswa Sape. Namun tidak banyak yang tau arti dari kata "Naganuri" yang sebenarnya berdasarkan sejarah munculnya nama ini, baik mereka yang bukan berasal dari Sape maupun mahasiswa Sape sendiri.

Well buddy... let me tell you what NAGANURI IS...!

Naganuri adalah sepenggal kata tentang sebuah tempat yang ada di kecamatan sape, dikisahkan disana adalah Tempat pertama atau labuhan pertama datangnya para Ulama yang membawa cahaya (Islam). Naganuri sebenarnya sebuah kata yang mengalami 'pergeseran kata'. Karena awalnya kata ini sebenarnya adalah Nanga Nur.

Nanga Nur sendiri disusun oleh dua kata dari dua bahasa yang berbeda. Kata pertama adalah dalam bahasa Bima, yaitu "Nanga" yang berarti Sungai / Telaga, sementara kata kedua adalah "Nur" yang berarti Cahaya dan merupakan kata dari bahasa Arab. Kedua kata ini memiliki makna menunjukan sebuah tempat / daerah yang merupakan awal masuknya Islam. Tempat itu (Nanga Nur) berada di kecamatan sape, tepatnya antara desa Sangia dan Bugis.

Untuk ceritanya, silahkan simak sepenggal Kisah Sang Sultan Abdul Khair dibawah ini. Oh ya, Namanya hampir sama dengan nama penulis ^_^7

Bukit Nanga Nur berjarak sekitar 3 KM dari Tempat Pelelangan Ikan Sape-Bima. Di sana terdapat 3 mata air bekas telaga yang oleh warga sekitar dikenal dengan Nanga Nur (Nanga= Sungai/Telaga, Nur = Cahaya). Jadi Nanga Nur adalah Telaga Cahaya /Sungai Cahaya yang dibuat oleh para Mubaliq yang menyiarkan agama Islam di Bima. Karena pada zaman dulu Islam masuk di Bima melalui Sape pada sekitar Abad ke 16 dan 17. (info: Sebelumnya Sultan Abdul Kahir / La Ka’i (pewaris kerajan Bima) dan masyarakat Bima masih memeluk ajaran Makimbi Makamba (kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan tempat/benda-benda keramat)).

Di atas bukit Nanga Nur inilah tempat peristirahatan terakhir dari dua ulama besar dari Pagaruyung Sumatera Barat yang bernama Datuk Di Banda dan Datuk Di Tiro yang diutus oleh Sultan Gowa pada waktu itu untuk menyiarkan agama Islam di Tanah Bima. Pintu masuk mereka adalah melalui selat Sape yaitu di Nanga Nur. Menurut penuturan salah seorang penjaga makam ini, dulu di Nanga Nur adalah Pelabuhan Alam yang terlindung dari angin musim dan badai. Karena letaknya sangat strategis dan landai di kaki bukit di sebelah barat Pelabuhan Sape sekarang. Dalam Roman Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota yang ditulis Alan Malingi, bahwa para mubaliq itu berlabuh di Nanga Nur untuk berdakwah sambil berdagang. 

Pada perkembangan selanjutnya mereka mendirikan Masjid Pertama di kompleks kampung Sigi Sape. Lalu mereka menemui Putera Mahkota La Ka’i di tempat persembunyian di puncak Kalodu untuk menyampaikan surat dari Sultan Gowa dan beberapa cindera mata. Isi surat tersebut memberitahukan bahwa Raja Gowa beserta seluruh rakyatnya telah memeluk Islam dan mengajak Putera Mahkota La Ka’i untuk memeluk Islam. Lalu La Ka’i bersama seluruh pengikutnya berikrar memeluk Islam dan mengangkat sumpah setia yang dikenal dengan sumpah Darah Daging dengan mengiris jari mereka dan meminum darah untuk memeluk Islam dan mengislamkan rakyat Bima. 

Tempat sumpah setia itu dikenal dengan Wadu Parapi ( Batu Parapi) yang berada di bendungan Parapi Desa Parangina kecamatan Sape. Setelah memeluk Islam La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir dan kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang. Setelah Wafat bergelar Rumata Ma Bata Wadu (Tuanku yang bersumpah Di Atas Batu).

Itulah sedikit gambaran tentang apa makna terselubung yang tidak terlalu diperhatikan dibalik kata Naganuri. Mohon tambahannya jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai. Thanks ^_^

#Referensi: irawanmantoi.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar